Juli 2024, saat Ahok menjadi Narasumber di acara Mata Najwa,
Ia berkomentar soal sistem perekrutan posisi strategis di Indonesia, terutama
pada Menkominfo akibat kasus pembajakan data. Ia menyinggung kata “Meritokrasi”.
“Gak bisa merekrut orang tanpa dasar yang baik,” Ungkapnya. Selain itu, Ahok bercerita
dirinya yang memiliki pabrik, atas saran neneknya, pamannya ingin bekerja dan
menggantikan akuntan yang telah lama meniti karir di perusahaannya. Bagi Ahok,
ia lebih memilih menyumbang untuk membangun bisnis pamannya dari pada melakukan
perbuatan yang dapat menurunkan semangat meritokrasinya.
Apa sebenarnya arti atau makna dari meritokrasi? Bagaimana
meritokrasi dalam sudut pandang agama Islam? Mari simak penjelasannya.
Definisi dan makna Meritokrasi
Meritokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, Merit
dan Kratos. Merit berati prestasi, sedangkan kratos merupakan kekuasaan,
kekuatan. Meritokrasi memiliki makna, yakni kekuasaan, posisi, jabatan atau
pangkat hanya diberikan kepada mereka-mereka yang berprestasi, layak, memiliki
kualifikasi, ahli dan berkemampuan dalam bidangnya. Meritokrasi merupakan
sistem politik dan filosofi yang mengedepankan profesionalisme, bukan karena
kerabat/keturunan, kekayaan dan hubungan personal.
Meritokrasi sendiri dianggap sebagai salah satu jawaban atas
lahirnya problematik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimana saat ini problematik
ketiganya sangat menjamur di negeri kita tercinta Indonesia. Jual beli bangku
sekolah (Penerimaan siswa), penerimaan kampus ternama, penerimaan karyawan dan
kenaikan pangkat dalam dunia kerja bahkan posisi strategi sekalipun di dunia
politik. Anti meritokrasi benar-benar membunuh bakat dan kemampuan seseorang
akibat kalahnya status dan latar belakang sosial.
Meritokrasi dalam sudut pandang Islam
Islam sebagai agama penutup dan penyempurna dari para
nabi-nabi sebelumnya tentu telah memberikan arahan dan pedoman dalam segala
aspek kehidupan baik agama, kesehatan, sosial bahkan politik. Meski istilah
meritokrasi lahir pada 1958 oleh Michael Dunlop Young, akan tetapi secara maksud itu sendiri telah dibahas oleh islam sejak 14 abad yang lalu.
Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 58
Artinya : “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik
pemberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Ayat ini diturunkan saat peristiwa fathul mekah pada bulan
Ramadhan 8 Hijriah atau 11 Januari tahun 630 Masehi. Ibnu Mardawaih
meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbas berkata, ”Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam menaklukkan Mekah, beliau
memanggil Usman bin Thalhah.
Ketika Usman bin Thalhah datang, Rasulullah bersabda, ‘Tunjukkanlah
kunci Ka’bah kepadaku.’
Lalu dia datang kembali dengan membawa kunci Ka’bah dan
menjulurkan tangannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam
sembari membuka telapaknya.
Ketika itu juga al-Abbas (Paman Rasul) bangkit lalu berkata,
‘Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepada saya agar tugas memberi minum dan
kunci Ka’bah saya pegang sekaligus.’
Maka Usman menggenggam kembali kunci itu.
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam pun bersabda,
‘Berikan kepadaku kunci itu, wahai Usman.’
Maka Usman berkata, ‘Terimalah dengan amanah Allah.’
Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam bangkit
dan membuka pintu Ka’bah. Kemudian beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.
Kemudian Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alahi
wasallam agar beliau mengembalikan kunci itu kepada Usman bin Thalhah.
Beliau pun memanggil Usman dan memberikan kunci itu
kepadanya. Kemudian beliau membaca firman Allah, ”Sungguh, Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,...” (an-Nisaa’: 58), hingga
akhir ayat.”
Tentu saja Abbas merupakan orang yang shalih, terlebih
merupakan keluarga nabi yang mulia dan terbebas dari dosa. Namun dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa sesuatu amanat, posisi atau tugas jabatan memang
seharusnya diberikan kepada ahli atau orang yang memiliki kemampuan.
Dalam hadits riwayat Bukhari No. 6015 disebutkan,
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ
فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى
غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang
sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika
urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”
Dari kedua dalil tersebut menandakan bahwa Islam benar-benar
mengajarkan untuk memberikan amanah kepada yang mereka yang sepantasnya dan
tidak diberikan berdasar kepentingan keluarga atau hubungan personal semata.
Tantangan meritokrasi
Tantangan dan kesulitan akan selalu melekat pada kehidupan
baik kehidupan pribadi ataupun bernegara. Tak terkecuali filosofi meritokrasi. Banyak
sumber mengatakan bahwa tantangan terbesar dari filosofi meritokrasi adalah
kata kesenjangan dan ketidaksetaraan.
Sebagai contoh, individu yang tinggal di kota besar akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dibandingkan mereka
yang tinggal di desa atau pedalaman. Kemudian
individu yang tinggal di desa atau pedalaman tersebut akan jauh tertinggal dan
menjadi tidak setara dengan individu yang telah berkembang pesat di kota yang mempengaruhi
prestasi dan pencapaian.
Paradigma saya dalam hal ini, justru lahirnya kesenjangan dan ketidaksetaraan
akibat 3 hal. Pertama, merupakan buah hasil kepemimpinan orang yang tidak cakap
dan kedudukan-kedudukan strategis yang di isi oleh orang-orang yang bukan ahli
dan memiliki kapasitas dibidangnya. Kedua, mereka memiliki kapasitas dan ahli,
namun dikendalikan berdasar kepentingan politik dan kekuasaan yang mana dalam
hal ini disebut tidak amanat. Ketiga, sikap masyarakat yang tidak kritis dan terlalu mementingkan golongan pribadi.
Contoh positif, Profesor Yohanes Surya, Ia berkata “Carikan
saya anak yang paling bodoh di Papua”. Ia membuat anak-anak yang tinggal kelas
di Papua tersebut menjadi anak-anak yang berprestasi juara olimpiade matematika
dan membuat robot di tingkat nasional bahkan memenangkan emas di olimpiade sains
dan matematika tingkat Asia pada 2011. Padahal mereka semua berasal dari
daerah yang sangat jauh dan terpencil.
Kalau membicarakan kesenjangan dan ketidaksetaraan, ketika mereka bisa berkembang sedemikian rupa, lantas mengapa anak yang tinggal dikota dalam kian waktu yang lama tidak semuanya bisa berkembang seperti itu. Selain itu bukannya setiap pemilihan pemimpin, mereka berjanji banyak hal untuk memajukan Indonesia bila terpilih. Seperti pemerataan ekonomi, kesejahteraan guru, internet gratis dll. Faktanya?
Tentu saja lika-liku berbagai kepentingan kekuasaan yang rumit, sehingga amanat untuk menjalankan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa tidak seluruhnya tersebar secara merata dan dispelekan. Alih-alih memajukan bangsa jika berhasil memenangkan kontestasi politik, faktanya mengamankan dan memperebutkan kursi kekuasaan merupakan hal yang paling penting. Menempatkan dan menaikan orang-orang tak berkompeten agar mudah di kendalikan.
Selain itu, meritokrasi juga sering dianggap melucutkan sisi
kemanusiaan karena orientasinya berdasarkan hasil. Berforientasi pada hasil sehingga
mengabaikan proses dan menciptakan kecurangan-kecurangan. Lalu diskriminasi tersembunyi dari golongan yang memiliki struktur sosial yang sangat kuat dan
masih banyak lagi.
Bagaimanapun sistemnya dan apapun itu filosofinya, tentu akan
menjadi buruk dan memiliki banyak kecacatan bila tidak dilandasi dengan hukum
yang kuat dan penegakkannya yang tegas. Tidak cukup sampai disitu, jawaban
lainnya adalah memiliki pelaksana yang ahli, cakap dan amanah.
Penting sekali untuk memulai semangat meritokratis dari diri sendiri untuk tidak menormalisasi bentuk suapan, perbuatan kolusi serta mementingkan keluarga atau golongan sendiri jika dirasa kemampuan . Indonesia tidak dapat maju hanya dengan satu keluarga akan tetapi dengan andil seluruh bangsa ini bersama-sama . Kalau kamu setuju gak? Berikan pendapat terbaik mu!
